Masyarakat Indonesia banyak mengembangkan komoditas hortikultura untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan pangan masyarakat. Keberhasilan dalam budidaya tanaman hortikultura tidak bisa lepas dari pengelolaan keberadaan organisme yang berada di lingkungan pertanian yang merupakan salah satu faktor yang dapat menguntungkan atau merugikan petani. Serangga merupakan salah satu organisme yang dimaksud, serangga bisa berperan menjadi agen pembantu polinasi atau menjadi organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang bersifat merugikan bagi petani. Perkembangan keanekaragaman serangga pada ekosistem pertanaman budidaya dipengaruhi oleh bertambahnya usia tanaman dan keberagaman jenis tanaman yang ada dalam satu lingkup pertanaman. Serangga hama dapat merugikan karena memakan atau menjadi pembawa organisme pengganggu lainnya (serangga vektor) yang berakibat rusak bahkan matinya tanaman budidaya.
Indonesia adalah negara berkembang yang selama sepuluh tahun terakhir berhasil untuk mengembangkan dan juga menerapkan suatu konsep dalam dunia pertanian yang dikenal dengan Integrated Pest Management atau biasa disebut Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Konsep PHT merupakan sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama ketika populasi tersebut dinilai dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi. Berbagai macam buah dan sayuran berpotensi rentan terhadap serangan lalat buah, meskipun hal ini tergantung pada spesies apa yang ada di wilayah tersebut dan kisaran inang spesiesnya. Buah semakin mungkin diserang saat menjadi lebih matang dan populasi lalat buah meningkat selama musim kemarau.
Buah yang terinfestasi telur atau larva dapat membawa OPT dalam perdagangan atau transportasi. Perpindahan ilegal buah yang diproduksi secara non-komersial adalah jalur risiko utama serangan lalat buah eksotik. Buah yang terinfestasi seringkali memiliki tanda tusukan (‘sengatan’) yang dibuat oleh masuknya ovipositor betina. Tidak jarang bisa ditemukan pembusukan atau eksudat manis di sekitar sengatan. Namun, tidak selalu bisa untuk mengenali buah tersebut terinfestasi oleh lalat buah atau bukan, meskipun infestasi biasanya dapat ditentukan dengan memotong buah yang memiliki gejala bekas seperti lubang sengatan dan mencari telur atau larva lalat buah.
Beberapa buah, seperti alpukat dan markisa, berkembang menjadi area yang keras dan menebal di mana mereka tersengat. Pada jeruk dewasa, tanda sengatnya mungkin berupa bintik kecil berwarna coklat, atau tampak memar yang tidak jelas, sedangkan pada buah jeruk hijau warna kulit di sekitar bekas sengat sebelum waktunya. Dalam kondisi lembab, jamur penyebab jamur hijau pada jeruk dan busuk coklat pada buah batu akan mudah menginfeksi buah yang tersengat. Begitu juga terjadi pada buah belimbing. Buah akhirnya bisa jatuh dari pohon sebagai akibat dari infestasi larva.
Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh larva yang menembus buah bervariasi dengan jenis dan kematangan buah, jumlah larva di dalamnya, dan kondisi cuaca yang berlaku. Larva menggali ke arah tengah pada sebagian besar buah, dengan pembusukan internal biasanya berkembang dengan cepat pada buah yang lunak. Pada buah keras biasanya terlihat jaringan penyaluran, diikuti dengan pembusukan internal. Perkembangan larva bisa sangat lambat pada buah keras seperti apel.
Biasanya, lalat buah bertelur di buah setengah matang dan matang. Lalat buah betina memiliki ovipositor yang tajam dan dapat ditarik di ujung perutnya untuk bertelur, yang digunakan untuk memasukkan telur ke dalam buah. Produksi telur dapat berkisar hingga 50 telur dan satu betina dapat bertelur hingga 3000 telur dalam siklus hidup mereka, tergantung pada spesiesnya. Dalam dua atau tiga hari, larva (belatung) menetas dari telur dan menggali lubang melalui buah. Secara kasat mata, larva ini menyerupai belatung.
Permasalahan yang dihadapi petani terkait serangan dari OPT tersebut biasanya petani akan mengambil tindakan pemusnahan serangga yang dianggapnya merugikan dengan cara memberikan racun kimia (pestisida) yang dianggap lebih praktis dan langsung memberikan hasil yang memuaskan. Padahal dalam konsep PHT penggunaan pestisida merupakan opsi terakhir dalam mengendalikan dan menekan serangan hama karena dapat mengakibatkan kerusakan kestabilan ekosistem, menyisakan residu racun, dan meningkatkan resistensi dari serangga hama. Pengendalian populasi OPT secara hayati direskomendasikan sebelum opsi akhir untuk menggunakan pestisida.
by Praditya Rizqi